MEMILIH DAN MENGGUNAKAN MEDIA PEMBELAJARAN YANG MENDORONG PRAKTEK INKLUSI DI DALAM KELAS
MEMILIH DAN MENGGUNAKAN MEDIA PEMBELAJARAN YANG MENDORONG PRAKTEK INKLUSI DI DALAM KELAS
A. Pemaparan
- Setelah selesai dengan konsep dasar, sesi dilanjutkan dengan praktek menciptakan kelas inklusi atau kelas yang inklusif. Fasilitator memberikan pengantar bahwa isu inklusi sosial, termasuk diskriminasi berbasis gender, bisa juga terlihat dalam konten media pembelajaran. Konten yang mengandung unsur kekerasan dan bias gender, atau tidak adaptif terhadap kebutuhan anak berkebutuhan khusus misalnya, masih sering ditemukan dlm keseharian praktek pembelajarn di kelas.
- Sebagai awal, fasilitator menjelaskan berbagai jenis media pembelajarn di kelas. Media pembelajaran yaitu segala sesuatu yg digunakan utk membantu process KBM di kelas, di antaranya yaitu buku-buku, audio visual, poster, lembar kerja dan alat peraga. Segala bentuk media pembelajaran yang memiliki konten perlu diperhatikan aspek inklusinya.
B. Kegiatan Mari Menganalisa Cerita!
1. Sebelum memulai kegiatan analisa cerita, fasilitator memberikan penjelasan singkat mengenai poin-poin penting yang harus diperhatikan untuk menciptakan konten media pembelajaran yang inklusif. Poin-poin ini yang akan dijadikan acuan dalam menganalisa cerita atau buku bacaan. Dalam penjelasan ini, fasilitator merujuk pada Catatan Fasilitator 1.
Catatan Fasilitator 1
Berikut adalah poin-poin penting untuk diperhatikan dalam membuat konten media pembelajaran yang inklusif. Perlu diingat bahwa konten mencakup tema, Bahasa, ilustrasi dan alur cerita.
1. Usia dan Tumbuh Kembang Anak
Konten sesuai dengan usia dan tumbuh kembang anak. Tidak dianjurkan membawakan cerita dengan isu yang kompleks kepada anak kelas awal.
2. Inklusi Sosial
Konten tidak merendahkan, mengucilkan atau mendiskriminasi kelompok tertentu berdasarkan gender, suku, kondisi fisik, agama atau disabilitas. Diharapkan konten juga bisa menampilkan kelompok tokoh atau kebudayaan minoritas yang positif sebagai bagian dari mengajarkan keberagaman.
3. Sensitivitas Gender
- Terdapat keterwakilan yang seimbang antara perempuan dan laki-laki di dalam konten media pembelajaran.
- Perempuan dan laki-laki tidak digambarkan dengan karakteristik dan peran-peran yang memperkuat stereotip gender.
Huruf, tulisan dan warna dalam konten bisa dilihat dan dibaca oleh semua anak, termasuk anak berkebutuhan khusus.
5. Ramah Anak (Tidak Mengandung Unsur Kekerasan)
Konten tidak mengandung dan mempromosikan kekerasan.
2. Selanjutnya, fasilitator membagi peserta ke dalam 5 kelompok. Jumlah kelompok dapat disesuaikan dengan jumlah total peserta. Idealnya satu kelompok maksimal terdiri dari 5 orang.
3. Fasilitator membagikan setiap kelompok cerita rakyat berjudul Sangkuriang dan Gunung Tangkuban Perahu.
4. Fasilitator membagikan lembar panduan analisa buku yang memuat 5 poin penting konten media pembelajaran yang inklusif kepada setiap kelompok. Setiapkelompok diminta untuk menganalisa cerita dengan berpedoman pada lembar panduan tersebut.
5. Fasilitator meminta kelompok untuk menuliskan hasil Analisa pada flip chart.
6. Fasilitator meja memfasilitasi diskusi dengan mengacu pada lembar panduan yang telah dibagikan.
7. Setelah diskusi kelompok selesai, perwakilan masing-masing kelompok memaparkan hasilanalisanya. Kelompok laindipersilahkan menambahkan jika memiliki temuan yang berbeda.
8. Fasilitator kemudian mengajukan pertanyaan pemicu kepada semua peserta:
- Kapan analisa konten media pembelajaran bisa dilakukan?
- Apa yang bisa dilakukan jika guru menemukan konten yang tidak sesuai?
10. Setelah diskusi besar selesai, fasilitator menyimpulkan secara singkat mengenai pentingnya memilih cerita/buku bacaandan mengembangkan media pembelajaran dalam bentuk apapun yang inklusif.
Mempromosikan Lingkungan Belajar yang Bebas dari Kekerasan
A. Pemaparan 2
1. Selain media pembelajaran yang inklusif, penting juga bagi guru untuk mempromosikan lingkungan belajar yang bebas dari kekerasan sebagai bagian dari upaya mendorong inklusivisitas di dalam kelas dan sekolah. Hal ini dikarenakan anak-anak yang memiliki kebutuhan berbeda seringkali menjadi korban kekerasan di kelas atau sekolah. Anak-anak dengan kebutuhan berbeda memiliki kemungkinan lebih tinggi tereksklusi/terdiskriminasi dari proses belajar mengajar yang pada akhirnya dapat berujung pada semakin meningkatnya kekerasan yang mereka alami.
2. Fasilitator mengajukan pertanyaan pembuka kepada peserta: Siapa saja yang berpotensi melakukan kekerasan terhadap anak?
3.Setelah mendengarkan beberapa jawaban peserta, fasilitator melanjutkan dengan menjelaskan bahwa kekerasan bisa dilakukan oleh sesama anak atau oleh orang dewasa di sekitarnya, entah itu orang tua, guru, atau penjaga sekolah. Kekerasan antara sesama anak biasa dikenal dengan istilah bullying (perundungan).
4. Masih dalam tayangan yang sama, fasilitator menjelaskan mengenai alur dampak yang terjadi jika anak mengalami kekerasan. Perilaku kekerasan yang dilakukan oleh siswa, guru maupun orang dewasa lainnya di sekolah dapat menyebabkan anak tereksklusi/terdiskriminasi dari proses belajar mengajar. Anak yang mengalami bullying misalnya, akan merasa trauma, murung dan malu. Pada akhirnya anak enggan pergi ke sekolah sehingga dia tereksklusi dari proses belajar. Hal ini akan berpengaruh secara langsung terhadap hasil belajar anak tersebut. Penting bagi guru untuk memahami alur ini sehingga tidak cepat melabeli anak tertentu malas atau bodoh karena prestasi belajarnya rendah padahal mungkin penyebabnya adalah karena anak-anak tersebut mengalami kekerasan dari orang-orang di sekitarnya.
5. Fasilitator menjelaskan jenis-jenis kekerasan, yaitu:
a. Kekerasan Fisik artinya suatu keadaan di mana seseorang dengan sengaja melukai atau mengancam untuk melukai, termasuk menampar, meninju, mengguncang menendang, membakar, atau menangkap (dan berbagai pemaksaan aktifitas seksual).
b. Kekerasan Emosional artinya menundukkan atau mengekspos orang lain terhadap perilaku yang dapat mengakibatkan trauma fisik atau psikologis, termasuk kecemasan, depresi kronis, atau gangguan stres pasca-trauma.
c. Eksploitasi dapat berupa eksploitasi ekonomidan seksual.
- Eksploitasi ekonomi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan anak di mana anak menjadi korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan anak oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan materiil.
- Eskploitasi seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari anak untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan pencabulan.
d. Pelecehan seksual adalah suatu tindakan di mana orang dewasa, remaja, atau anak lain di mana ada perbedaan usia yang signifikan menggunakan anak untuk rangsangan seksual. Dalam hal ini dikenal istilah ‘Grooming’ di mana orang dewasa membangun hubungan kedekatan anak secara bertahap sebelum melakukan kekerasan seksual terhadap anak.
e. Pengabaian/penelantaran (neglect) artinya kegagalan terus-menerus atau penolakan yang disengaja dalam memberikan perawatan yang dibutuhkan dan sesuai usia di mana pemberi perawatan sebenarnya berada dalam posisi yang mampu untuk memberikan perawatan tersebut.